Keadaan dunia dan konstelasi perpolitikan dunia berubah secara dinamis pada abad 21 memberikan dampak signifikan pada kaidah hukum internasional. Dinamisnya perubahan yang terjadi menciptakan banyak tantangan baru yang menuntut kaidah-kaidah hukum internasional yang telah disepakati sejak lama untuk dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada di masyarakat dunia. Amerika Serikat (AS) telah sekian lama memberikan banyak justifikasi aksi pembelaan diri sebagai interpretasi hukum internasional. Hal ini menciptakan pertanyaan bagaimana langkah AS dan dasar justifikasi aksi militer terhadap external threat atau ancaman eksternal yang mengancam baik kepentingan AS juga perdamaian dunia, seperti senjata pemusnah massal dan isu sedang berkembang, terorisme.
Oleh karena itu review kali ini ingin menggali bagaimana justifikasi aksi militer AS dalam alasan self-defence dengan cara serangan antisipatoris atau preemptive strike lewat kekuatan militer diakuisisi oleh hukum internasional secara interpretatif dan bagaimana doktrin-doktrin yang mendukung hal tersebut terbentuk untuk mendukung aksi militer yang dilancarkan.
Sebagai dasar, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadi acuan utama pedoman bagi negara-negara di dunia untuk melandasi legitimasi penggunaan angkatan bersenjata sebagai instrumen penyelesaian konflik. Interpretasi terhadapa piagam PBB selalu berkembang seiring berkembangnya situasi global. Pada awal pembentukannya tahun 1945, piagam PBB memiliki visi untuk pembentukan organisasi internasional (PBB) yang dapat mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mendorong usaha kolektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman bagi perdamaian, dan untuk meredam aksi agresif atau segala aksi yang mengganggu perdamaian. Pendeklarasian piagam PBB menandakan munculnya limitasi terhadap aksi agresif unilateral dari negara untuk penyelesaian konflik internasional; karena perlu didasari asas kerjasama dan kesepakatan. Pengecualian hanya terdapat pada penggunaan kekuatan militer (use of force) untuk alasan pembelaan diri (self-defence) baik secara individual atau kolektif.
Tetapi memasuki era perang dingin, isu dan ancaman terorisme dan senjata pemusnah masal mulai muncul dan mengancam masyarakat di dalam negara secara frontal, terutama dengan memanfaatkan adanya pusat kehidupan dari masyarakat, seperti mall, gedung perkantoran, dll. Hal ini yang menyebabkan negara seperti Amerika Serikat mengubah kebijakannya terhadap terorisme menjadi lebih bersifat non-kompromis dan pendekatan proaktif pada era tahun 1980’s di bawah kepemimpinan Reagan dari kebijakan sebelumnya yang sifatnya lebih pasif. Hal tersebut menciptakan kebutuhan akan interpretasi baru untuk menjawab tantangan dunia.
Adanya adaptasi ini memunculkan persepsi-persepsi baru yang mendasari adanya penggunaan aksi militer sebagai respon dari ancaman eksternal. Salah satunya adalah redefinisi dhakikat self-defense atau pembelaan diri. Kajian mengenai interpretasi hukum banyak mengikuti pasal 51 piagam PBB yang berisi sebagai berikut:
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council under the present Charter to take any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
Pada pasal 51 piagam PBB tertera bahwa aksi self-defense dari suatu negara dapat dilakukan bila dinilai rasional dan penting ketika dihadapkan pada aksi agresi atau armed-attack ketika sebuah negara telah diserang lebih dahulu oleh kekuatan eksternal. Aksi pre-emptive strike atau serangan antisipatoris menjadi basis kuat menyokong aksi negara seperti Amerika Serikat untuk melakukan penyerangan militer. Pasal 51 mensignifikasikan bahwa legitimasi penyerangan militer atas dasar pembelaan diri dapat dilakukan ketika penyerangan telah dilakukan terlebih dahulu oleh pihak agresor. Tetapi pada kenyataannya poin ini memiliki unsur kompleksitas dalam interpretasinya.
Muncul tiga pendekatan dalam melihat pasal 51 tersebut. Pertama pendekatan Restrictionist, menyatakan bahwa aksi self-help dari negara untuk bereaksi pada serangan yang mengancam dapat dilakukan, sesuai eksepsi pasal 51, bila telah “benar-benar” diserang secara fisik. Kaum Restrictionist juga memberikan limitasi bahwa aksi self-defense dapat dilakukan suatu negara bila mendapat agresi dari negara lain, hal ini sesuai dari apa yang didefinisikan di awal pendirian PBB yang diakui negara penandatangan piagam. Kedua pendekatan counter-Restrictionist, mengadopsi persepsi ekspansionisme dan melihat aksi pasal 51 sebagai perlindungan bagi kedaulatan dan kemandirian negara, sehingga bila suatu negara merasa kedaulatannya terganggu oleh aksi agresif negara lain, dapat melakukan aksi militer terhadap negara yang mengancam meskipun ancaman belum mencapai level serangan fisik secara langsung. Piagam PBB dinilai memberikan banyak pengaplikasian kebiasan internasional (costumary law) sehingga aksi penggunaan militer sebagai bentuk ¬self-defence sebagai bagian dari kebiasaan internasional dapat dilakukan.
Hal ini didukungan oleh kriteria Caroline yang menyebutkan tingkat pentingnya self-defence harus instant, dengan kekuatan yang kuat, tanpa memberikan pilihan dan tujuan yang salah, serta aksi yang dipakai harus rasional dan tidak berlebihan. Kekerasan yang berlebihan akan menggoyahkan legalitas operasi yang didasari oleh alasan Self-Defence. Aksi Self-Defence harus memnuhi kriteria Neccesity, Immideacy,dan Proportionality.
Ketiga pendekatan Anticipatory Self-Defence, tercontohkan pada invasi Israel terhadap Iraq tahun 1981 dimana Israel mengambil tindakan antisipatoris dengan menyerang Iraq karena perilaku Iraq yang mengancam Israel dengan adanya persenjetaan pemusnah massal. Aksi inilah yang kemudian disebut sebagai pre-emprive strike. Tetapi komunitas dunia mengecam aksi pre-emptive dan khawatir bila dianggap legal maka struktur perdamaian dunia akan terancam.
Pada era 60-an hingga 80-an muncul interpretasi pasal 51 untuk menyembunyikan aksi retaliation atau aksi pembalasan dengan alasan self-defence. Interpretasi ini muncul setelah Inggris menyerang kota Harib di Yaman pada tahun 1964 karena pemerintah Yaman melakukan dukungan atas pemberontakan dan penyerangan pada Federasi Arab Selatan, aksi retaliasi tersebut dinilai illegal oleh Dewan Keamanan PBB. Juga aksi pemboman AS terhadap Libya tahun 1986 karena menilai Libya menyokong aksi teroris di Eropa yang banyak melukai warga negara AS. Aksi tersebut mendapat kecaman keras dari Majelis Umum PBB.
Memasuki akhir 80-an persepsi dunia akan penolakan aksi retaliasi mulai goyah karena masyarakat dunia mulai menyadari akan bahaya serangan teroris yang mulai mengancam dunia. Hal ini didukung oleh persepsi Presiden AS Ronald Reagan yang menandatangani draft strategi pertahanan nasional AS baru yang dikeluarkan oleh National Security Decision Directive (NSDD) yang pada intinya menyatakan bahwa AS memiliki tanggung jawab untuk lebih proaktif ketika muncul ancaman teroris yang dapat mengganggu kepentingan AS. Pernyataan ini sekaligus merangkum apa yang kemudian disebut “Reagan Doctrine” dan memperjelas bahwa aksi kontra terorisme dapat diikuti oleh penggunaan kekuatan militer. Selain itu muncul juga “Schultz Doctrine” yang berisikan bahwa aksi pertahanan aktif tidak hanya ditujukan pada kelompok teroris melainkan juga pada negara yang memberikan peluang dan dukungan pada munculnya gerakan terorisme.
Kedua doktrin ini digunakan oleh AS untuk melakukan serangan antisipatoris terhadap ancaman teroris seperti yang trjadi pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton yang mengakuisisi pengiriman rudal AS terhadap kamp teroris di Afghanistan dan Sudan. Walau mendapat kecaman publik, pemerintah AS tetap sepakat menyatakan bahwa hal ini perlu dan telah memenuhi kriteria Caroline, dimana aksi self-defence dapat dilakukan bila sangat perlu, rasional, dan proporsional.
Serangan 11 September menjadi titik tolak agresivitas AS untuk melakukan aksi antisipatoris dan akuisisi public internasional akan hal tersebut. Pasca tragedi 11 September, Dewan Keamanan PBB beserta Majelis Umum mengeluarkan Resolusi 56/1 tanpa voting untuk secara cepat membentuk kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas aksi terorisme serta menekankan bahwa pihak yang membantu dan mendukung aksi terorisme harus juga dihentikan. AS dipimpin Bush menyatakan bahwa pelaku serangan sebagai jaringan teroris internasional bernama Al-Qaeda dan pemberantasan terorisme tidak akan berakhir sebelum seluruh kelompok teroris di dunia ditumpas habis. Dewan Keamanan PBB dan organisasi internasional besar, termasuk Liga Arab, mendukung aksi pemberantasan terorisme dan menyatakan bahwa aksi terorisme merupakan pelanggaran hukum internasional.
Kemudian “Bush Doctrine” muncul yang menyatakan bahwa pertarungan harus dibawa kearah musuh, menghancurkan rencana mereka, dan menumpas sebelum ancaman serius muncul, karena serangan berat yang terjadi terhadap AS dikarenakan AS menunggu ancaman untuk menjadi serius sebelum menanganinya. Bush mengatakan, “now is the time this nation act”. Doktrin ini sekaligus memberi ancaman bagi Iraq dan negara lain untuk tidak mengembangkan senjata pemusnah massal. Hal ini yang mendasari invasi AS ke Iraq dan Afghanistan.
Penyerangan AS dan dukungan publik akan hal tersebut jelas memberikan paradigma baru dalam memberikan interpretasi pada hukum internasional. Serangan AS dapat dikategorikan sebagai sebuah aksi perang, aksi yang dahulu hanya dikenal sebagai bentuk interaksi antar negara, tetapi berubah tujuannya kepada aktor non-negara. Terorisme bukanlah lagi ancaman yang dapat ditangani oleh kekuatan domestik, melainkan telah bertranformasi menjadi ancaman internasional. Tetapi hasil dari invasi AS ke Irak telah banyak menimbulkan kontroversi dan keraguan karena didasari oleh justifikasi legal yang kurang pasti serta bukti-bukti yang tidak konkrit akan adanya senjata pemusnah massal yang dijadikan dasar invasi tersebut. Skeptisisme mengenai penyalahgunaan konsep self-defence banyak muncul dikalangan masyarakat internasional, sehingga apa yang sebelumnya diinginkan sebagai evolusi praktis interaksi negara menjadi penyalahgunaan wewenang kekuatan militer serta politik.
Pham dalam artikelnya mengutarakan adanyanya penyimpangan hukum internasional di era pasca serangan 11 September di AS. Pham memakai dasar persamaan legitimasi penggunaan kekuatan militer AS terhadap Iraq atas alasan terorisme dan senjata pemusnah masal, dengan aksi ekspansionis dari kekuatan imperialisme abad ke-19. Abad ke-19 muncul interpretasi tentang kedaulatan yang memberikan pembedaan kedaulatan bagi negara barat dengan negara non-barat yang pada kenyataannya mendapat bentuk kedaulatan parsial. hal ini juga yang mendasari pembetukan hukum internasional yang dinilai sebagai “universal” menjadi terorientasi pada perspektif dunia barat. Atas dasar itu posisi negara barat di abad ke-19 memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketimbang negara non-barat, sehingga negara barat memiliki legitimasi untuk memberikan pengaruh kepada negara non-barat untuk menganut sistem yang sama dengan negara barat. Karya dari Fransesco de Vitoria banyak menyinggung hal ini dengan konsepsi “Just War” dimana negara barat dapat mengintervensi daerah lain yang dinilai less-civilized ketimbang negara barat, sehingga bentuk kolonialisme menjadi suatu hal yang terlegitimasi.
Konsepsi diatas merupakan alasan yang sama dengan munculnya doktrin Bush pada era pasca serangan 11 September. Aksi AS, berdasarkan pernyataan Bush, menegaskan bahwa bentuk koalisi AS dan sekutunya memiliki tujuan untuk menciptakan “Self-Government” yang dicapai melalui proses demokratis dan keteraturan. Resolusi 151 dari Dewan Keamanaan PBB merupakan hasil lobi AS untuk meyakinkan dunia internasional bahwa aksi intervensi ke Iraq merupakan hal yang diinginkan oleh masyarakat Iraq itu sendiri dan AS memberikan bantuan untuk mempercepat proses demokrasi tersebut. Alasan pendirian “Self-Government” AS ini memiliki fakta historis yang sama ketika AS mendirikan pemerintahan di Filipina yang hingga sekarang masih kuat berada di bawah pengaruh AS.
Aksi AS dibawah pemerintahan Bush memiliki kesamaan atas alasan yang melegitimasi aksi imperialism negara barat pada era ke-19, dimana hukum internasional masih mencari bentukan yang sesuai dengan kondisi. Setelah munculnya Piagam PBB aksi dan legitimasi tersebut hilang momentumnya, tetapi serangan 11 September memunculkan kembali doktrin yang telah lama hilang tersebut dengan wajah baru yang mengatasnamakan aksi pemberantasan terorisme serta senjata pemusnah massal dan penegakan demokrasi sebagai alasan agresi dengan kekuatan militer. Hal ini merupakan signifikansi penyimpangan pada kaidah hukum internasional. Bahkan bila melihat fakta yang terjadi sebuah negara dapat bertahun-tahun melakukan aksi penjajahan atau intervensi terhadap negara lain tanpa perlu mengakui dan mencari basis legitimasi yang dapat diakui serta didukung masyarakat global. Dilihat dari segi hukum internasional juga kaidah hak asasi manusia, aski AS ini merupakan penyimpangan yang perlu disikapi agar tidak terulang kembali dikemudian hari.
Kritsiotis juga memiliki konklusi yang serupa mengenai aksi Self-Defence dengan aksi retaliatoris yang berlebihan. Berdasarkan studi kasus pada serangan misil AS ke Iraq tahun 1993, administrasi AS dibawah Clinton menggunakan hukum kebiasaan dan treaty law of Self-Defence. Aspek politis sangat mempengaruhi keputusan Self-Defence yang tidak sejalan dengan hukum internasional terutama bila didukung oleh dukungan Internasional terhadap aksi AS tersebut. Aksi Self-Defence AS juga tidak memenuhi tingkat immediacy yang mencukupi, sehingga kecurigaan atas aksi militer banyak tercampur oleh alasan kepentingan unilateral dari AS.
Berbeda dengan perspektif Maogoto, Pham, dan Kritsiotis yang pesimistis akan aksi AS sebagai penyimpangan hukum internasional. Peneliti John W. Lango menelaah lebih jauh mengenai konsep legitimasi preemptive war dari PBB itu sendiri yang secara langsung mempengaruhi keberadaan serangan antisipatoris yang terjadi sebagai justifikasi aksi unilateral AS. Pada awal reportasi dari Sekjen PBB mengenai Prevention of Armed Conflict, Kofi Annan memberikan pernyataan pengubahan orientasi PBB dari kultur reaksi menjadi preventif. Dalam artikel 39 Piagam PBB juga tercantum pada pendelegasian tugas pada Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah untuk menjaga perdamaian, yang menurut Lango, merupakan pemberian hak istimewa bagi Dewan Keamanan untuk mengambil langkah preventif pada “ancaman” perdamaian. Serta pada Artikel 40 melanjutkan bahwa Dewan Keamanan memberikan resolusi bagi suatu negara yang mengancam perdamaian, dan bila negara tersebut tidak memberikan respon yang kooperatif, maka dapat dilanjutkan dengan agresi yang bersifat militer. Lango memberikan contoh pada ancaman adanya dugaan Weapons of Mass Destruction pada Iraq dalam perang teluk tahun 1991.
Bila dikaitkan dengan aksi unilateral AS dalam melakukan invasi sesuai dengan Piagam PBB, Lango menyebutkan justfikasi tersebut dapat ditemukan dalam pasal 51 yang telah dibahas sebelumnya. Justifikasi aksi unilateral tersebut dapat dinterpretasikan sebagai bentuk pendelegasian wewenang terhadap Dewan Keamanan secara tidak langsung, terutama para anggota tetap. Hal ini yang dimanfaatkan oleh AS dalam melakukan aksi militernya terhadap segala ancaman perdamaian, mulai dari era Reagan hingga Bush junior.
Pada tataran ideal, suatu aksi preemptive harus memenuhi asas proporsionalitas dimana keuntungannya melebihi kerugian yang di ambil. Lango secara eksplisit mendukung aksi AS untuk memimpin pemberantasan keamanan seperti ancaman senjata pemusnah massal, hingga senjata kimia dan biologis, dengan alasan AS sebagai salah satu pembentuk PBB di akhir Perang Dunia kedua. Sesuai dengan acuan keamanan nasional dari pemerintahan AS dibawah Bush, bahwa AS akan melakukan aksi antisipatoris dalam menumpas ancaman (terorisme termasuk) dan tidak akan ragu untuk melakukan secara unilateral “if the cause is Just” .
Analisis
Dari summary artikel diatas, penulis dapat melihat dua buah pilar pendapat yang mengikuti justifikasi Amerika Serikat. Pihak penentang menyatakan justifikasi aksi pre-emptive atas dasar self-defence yang dilancarkan Amerika Serikat telah muncul dibawah interpretasi hukum yang salah serta terlalu bergantung pada interpretasi hukum kebiasaan (customary law), seperti konsep Just War. Pasal 51 Piagam PBB secara longgar diinterpretasikan sebagai dasar karena kurangnya penjelasan mengenai bentuk penyerangan yang benar terjadi yang memaksa suatu negara melancarkan aksi self-defence. AS memanfaatkan interpretasi atas dasar moralitas dan kemanusiaan dimana aksi pre-emptive dibutuhkan sebelum bentuk ancaman berubah menjadi sebuah ancaman serius. Secara moralitas praktik tersebut dapat diakui, tetapi kenyataan yang terjadi pada invasi AS terhadap Irak atas tuduhan senjata pemusnah massal tidaklah terbukti sehingga merusak esensi inisiasi serangan preemptive.
Kofi Annan selaku dewan PBB memang mendukung bentukan aksi aktif AS ketika Presiden Bush junior meyakinkan dunia bahwa aksi pembentukan pasukan interasional yang dipimpin AS merupakan hal yang tepat untuk melawan teroris serta ancaman senjata pemusnah massal. Tetapi AS melakukan hal yang diluar ekspektasi ketika aksi preemptive tersebut justru memperburuk situasi Irak, terutama dengan banyaknya korban dari warga sipil, serta aksi yang justru memicu banyak konflik susulan. Kecaman dunia mulai muncul sehingga membentuk opini pesimistik terhadap segala bentuk preemptive AS yang digunakan sebagai jargon self-defence. Masyarakat internasional kian sadar akan legitimasi untuk ambisi AS semata. Bahkan lebih jauh seperti apa yang Pham utarakan bahwa bentuk penjajahan dan intervensi di Abad 21 dapat tidak diakui oleh sebuah negara, sehingga AS dapat terlindung dari kenyataan bahwa aksi invasi tersebut memiliki kesamaan dengan justifikasi kolonialisme di abad 19 untuk melancarkan aksi militer terhadap less-civilized society.
Selain itu Lango memberikan pendekatan berbeda bahwa aksi AS secara jelas terlegitimasi mengingat posisinya sebagai DK PBB yang mengharuskan dilakukannya pengambilan usaha pemeliharaan keamanan sesuai dengan artikel 39 Piagam PBB. Karakter AS ini menunjukan hegemoni AS sebagai polisi dunia yang telah terbentuk semenjak pemerintahan Reagan hingga Bush Junior. Walau konsensus di DK PBB tidak dicapai, AS menilai bila ancaman telah dinilai cukup membahayakan, AS dapat melakukan intervensi secara langsung.
Penulis berkesimpulan bahwa kasus preemptive ini merupakan titik kelemahan hukum internasional dalam bentukan penjaga keamanan internasional. Kekuatan politik serta pengaruh yang kuat dapat melunakkan interpretasi hukum itu sendiri sehingga aksi yang tidak diinginkan dapat dilancarkan oleh negara yang memiliki pengaruh serta kekuatan militer terkuat. Kemunculan doktrin-doktrin justifikasi menjadi acuan dan diakui dunia internasional karena kekuatan lobbying power yang dimiliki AS sehingga banyak merangkul negara lain untuk menyetejui aksi AS, meskipun tidak ada konsensu bulat di Majelis Umum PBB serta DK PBB. Kasus invasi Ira oleh pemerintahan Bush merangkul lebih dari 20 negara untuk memberikan pasukan “perdamaian” untuk operasi “Iraqi Freedom”, terutama Inggris yang pro AS.
Jadi hukum yang tertera di Piagam PBB bersifat universal dan interpretasi yang dilakukan terhadap hukum tersebut dapat bermacam-macam. Kekuatan politik sangat berpengaruh untuk pembentukan interpretasi dan opini publik Internasional. Ditengah urgensi ketakutan terhadap terorisme, AS dapat menggiring publik dunia serta meyakinkan dunia internasional bahwa aksi preemptive yang dilakukan adalah untuk tujuan self-defence, tidak hanya untuk AS, tapi untuk seluruh masyarakat dunia. Lalu ketika hasilnya diluar ekspektasi, kekecewaan bermunculan, pemerintah AS sendiri yang harus menanggung merosotnya pamor pemerintahannya. Krisis financial AS penulis berpendapat kurang klebih dipengaruhi oleh pengeluaran biaya militer yang berlebihan.
Jadi pengawasan terhadap interpretasi yang bersifat politis terhadap hukum internasional harus dikritisi dan diawasi lebih seksama demi tujuan membentuk masyarakat internasional yang damai dan taat kaidah hukum.
Oleh karena itu review kali ini ingin menggali bagaimana justifikasi aksi militer AS dalam alasan self-defence dengan cara serangan antisipatoris atau preemptive strike lewat kekuatan militer diakuisisi oleh hukum internasional secara interpretatif dan bagaimana doktrin-doktrin yang mendukung hal tersebut terbentuk untuk mendukung aksi militer yang dilancarkan.
Sebagai dasar, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadi acuan utama pedoman bagi negara-negara di dunia untuk melandasi legitimasi penggunaan angkatan bersenjata sebagai instrumen penyelesaian konflik. Interpretasi terhadapa piagam PBB selalu berkembang seiring berkembangnya situasi global. Pada awal pembentukannya tahun 1945, piagam PBB memiliki visi untuk pembentukan organisasi internasional (PBB) yang dapat mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mendorong usaha kolektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman bagi perdamaian, dan untuk meredam aksi agresif atau segala aksi yang mengganggu perdamaian. Pendeklarasian piagam PBB menandakan munculnya limitasi terhadap aksi agresif unilateral dari negara untuk penyelesaian konflik internasional; karena perlu didasari asas kerjasama dan kesepakatan. Pengecualian hanya terdapat pada penggunaan kekuatan militer (use of force) untuk alasan pembelaan diri (self-defence) baik secara individual atau kolektif.
Tetapi memasuki era perang dingin, isu dan ancaman terorisme dan senjata pemusnah masal mulai muncul dan mengancam masyarakat di dalam negara secara frontal, terutama dengan memanfaatkan adanya pusat kehidupan dari masyarakat, seperti mall, gedung perkantoran, dll. Hal ini yang menyebabkan negara seperti Amerika Serikat mengubah kebijakannya terhadap terorisme menjadi lebih bersifat non-kompromis dan pendekatan proaktif pada era tahun 1980’s di bawah kepemimpinan Reagan dari kebijakan sebelumnya yang sifatnya lebih pasif. Hal tersebut menciptakan kebutuhan akan interpretasi baru untuk menjawab tantangan dunia.
Adanya adaptasi ini memunculkan persepsi-persepsi baru yang mendasari adanya penggunaan aksi militer sebagai respon dari ancaman eksternal. Salah satunya adalah redefinisi dhakikat self-defense atau pembelaan diri. Kajian mengenai interpretasi hukum banyak mengikuti pasal 51 piagam PBB yang berisi sebagai berikut:
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council under the present Charter to take any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
Pada pasal 51 piagam PBB tertera bahwa aksi self-defense dari suatu negara dapat dilakukan bila dinilai rasional dan penting ketika dihadapkan pada aksi agresi atau armed-attack ketika sebuah negara telah diserang lebih dahulu oleh kekuatan eksternal. Aksi pre-emptive strike atau serangan antisipatoris menjadi basis kuat menyokong aksi negara seperti Amerika Serikat untuk melakukan penyerangan militer. Pasal 51 mensignifikasikan bahwa legitimasi penyerangan militer atas dasar pembelaan diri dapat dilakukan ketika penyerangan telah dilakukan terlebih dahulu oleh pihak agresor. Tetapi pada kenyataannya poin ini memiliki unsur kompleksitas dalam interpretasinya.
Muncul tiga pendekatan dalam melihat pasal 51 tersebut. Pertama pendekatan Restrictionist, menyatakan bahwa aksi self-help dari negara untuk bereaksi pada serangan yang mengancam dapat dilakukan, sesuai eksepsi pasal 51, bila telah “benar-benar” diserang secara fisik. Kaum Restrictionist juga memberikan limitasi bahwa aksi self-defense dapat dilakukan suatu negara bila mendapat agresi dari negara lain, hal ini sesuai dari apa yang didefinisikan di awal pendirian PBB yang diakui negara penandatangan piagam. Kedua pendekatan counter-Restrictionist, mengadopsi persepsi ekspansionisme dan melihat aksi pasal 51 sebagai perlindungan bagi kedaulatan dan kemandirian negara, sehingga bila suatu negara merasa kedaulatannya terganggu oleh aksi agresif negara lain, dapat melakukan aksi militer terhadap negara yang mengancam meskipun ancaman belum mencapai level serangan fisik secara langsung. Piagam PBB dinilai memberikan banyak pengaplikasian kebiasan internasional (costumary law) sehingga aksi penggunaan militer sebagai bentuk ¬self-defence sebagai bagian dari kebiasaan internasional dapat dilakukan.
Hal ini didukungan oleh kriteria Caroline yang menyebutkan tingkat pentingnya self-defence harus instant, dengan kekuatan yang kuat, tanpa memberikan pilihan dan tujuan yang salah, serta aksi yang dipakai harus rasional dan tidak berlebihan. Kekerasan yang berlebihan akan menggoyahkan legalitas operasi yang didasari oleh alasan Self-Defence. Aksi Self-Defence harus memnuhi kriteria Neccesity, Immideacy,dan Proportionality.
Ketiga pendekatan Anticipatory Self-Defence, tercontohkan pada invasi Israel terhadap Iraq tahun 1981 dimana Israel mengambil tindakan antisipatoris dengan menyerang Iraq karena perilaku Iraq yang mengancam Israel dengan adanya persenjetaan pemusnah massal. Aksi inilah yang kemudian disebut sebagai pre-emprive strike. Tetapi komunitas dunia mengecam aksi pre-emptive dan khawatir bila dianggap legal maka struktur perdamaian dunia akan terancam.
Pada era 60-an hingga 80-an muncul interpretasi pasal 51 untuk menyembunyikan aksi retaliation atau aksi pembalasan dengan alasan self-defence. Interpretasi ini muncul setelah Inggris menyerang kota Harib di Yaman pada tahun 1964 karena pemerintah Yaman melakukan dukungan atas pemberontakan dan penyerangan pada Federasi Arab Selatan, aksi retaliasi tersebut dinilai illegal oleh Dewan Keamanan PBB. Juga aksi pemboman AS terhadap Libya tahun 1986 karena menilai Libya menyokong aksi teroris di Eropa yang banyak melukai warga negara AS. Aksi tersebut mendapat kecaman keras dari Majelis Umum PBB.
Memasuki akhir 80-an persepsi dunia akan penolakan aksi retaliasi mulai goyah karena masyarakat dunia mulai menyadari akan bahaya serangan teroris yang mulai mengancam dunia. Hal ini didukung oleh persepsi Presiden AS Ronald Reagan yang menandatangani draft strategi pertahanan nasional AS baru yang dikeluarkan oleh National Security Decision Directive (NSDD) yang pada intinya menyatakan bahwa AS memiliki tanggung jawab untuk lebih proaktif ketika muncul ancaman teroris yang dapat mengganggu kepentingan AS. Pernyataan ini sekaligus merangkum apa yang kemudian disebut “Reagan Doctrine” dan memperjelas bahwa aksi kontra terorisme dapat diikuti oleh penggunaan kekuatan militer. Selain itu muncul juga “Schultz Doctrine” yang berisikan bahwa aksi pertahanan aktif tidak hanya ditujukan pada kelompok teroris melainkan juga pada negara yang memberikan peluang dan dukungan pada munculnya gerakan terorisme.
Kedua doktrin ini digunakan oleh AS untuk melakukan serangan antisipatoris terhadap ancaman teroris seperti yang trjadi pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton yang mengakuisisi pengiriman rudal AS terhadap kamp teroris di Afghanistan dan Sudan. Walau mendapat kecaman publik, pemerintah AS tetap sepakat menyatakan bahwa hal ini perlu dan telah memenuhi kriteria Caroline, dimana aksi self-defence dapat dilakukan bila sangat perlu, rasional, dan proporsional.
Serangan 11 September menjadi titik tolak agresivitas AS untuk melakukan aksi antisipatoris dan akuisisi public internasional akan hal tersebut. Pasca tragedi 11 September, Dewan Keamanan PBB beserta Majelis Umum mengeluarkan Resolusi 56/1 tanpa voting untuk secara cepat membentuk kerjasama internasional untuk mencegah dan memberantas aksi terorisme serta menekankan bahwa pihak yang membantu dan mendukung aksi terorisme harus juga dihentikan. AS dipimpin Bush menyatakan bahwa pelaku serangan sebagai jaringan teroris internasional bernama Al-Qaeda dan pemberantasan terorisme tidak akan berakhir sebelum seluruh kelompok teroris di dunia ditumpas habis. Dewan Keamanan PBB dan organisasi internasional besar, termasuk Liga Arab, mendukung aksi pemberantasan terorisme dan menyatakan bahwa aksi terorisme merupakan pelanggaran hukum internasional.
Kemudian “Bush Doctrine” muncul yang menyatakan bahwa pertarungan harus dibawa kearah musuh, menghancurkan rencana mereka, dan menumpas sebelum ancaman serius muncul, karena serangan berat yang terjadi terhadap AS dikarenakan AS menunggu ancaman untuk menjadi serius sebelum menanganinya. Bush mengatakan, “now is the time this nation act”. Doktrin ini sekaligus memberi ancaman bagi Iraq dan negara lain untuk tidak mengembangkan senjata pemusnah massal. Hal ini yang mendasari invasi AS ke Iraq dan Afghanistan.
Penyerangan AS dan dukungan publik akan hal tersebut jelas memberikan paradigma baru dalam memberikan interpretasi pada hukum internasional. Serangan AS dapat dikategorikan sebagai sebuah aksi perang, aksi yang dahulu hanya dikenal sebagai bentuk interaksi antar negara, tetapi berubah tujuannya kepada aktor non-negara. Terorisme bukanlah lagi ancaman yang dapat ditangani oleh kekuatan domestik, melainkan telah bertranformasi menjadi ancaman internasional. Tetapi hasil dari invasi AS ke Irak telah banyak menimbulkan kontroversi dan keraguan karena didasari oleh justifikasi legal yang kurang pasti serta bukti-bukti yang tidak konkrit akan adanya senjata pemusnah massal yang dijadikan dasar invasi tersebut. Skeptisisme mengenai penyalahgunaan konsep self-defence banyak muncul dikalangan masyarakat internasional, sehingga apa yang sebelumnya diinginkan sebagai evolusi praktis interaksi negara menjadi penyalahgunaan wewenang kekuatan militer serta politik.
Pham dalam artikelnya mengutarakan adanyanya penyimpangan hukum internasional di era pasca serangan 11 September di AS. Pham memakai dasar persamaan legitimasi penggunaan kekuatan militer AS terhadap Iraq atas alasan terorisme dan senjata pemusnah masal, dengan aksi ekspansionis dari kekuatan imperialisme abad ke-19. Abad ke-19 muncul interpretasi tentang kedaulatan yang memberikan pembedaan kedaulatan bagi negara barat dengan negara non-barat yang pada kenyataannya mendapat bentuk kedaulatan parsial. hal ini juga yang mendasari pembetukan hukum internasional yang dinilai sebagai “universal” menjadi terorientasi pada perspektif dunia barat. Atas dasar itu posisi negara barat di abad ke-19 memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketimbang negara non-barat, sehingga negara barat memiliki legitimasi untuk memberikan pengaruh kepada negara non-barat untuk menganut sistem yang sama dengan negara barat. Karya dari Fransesco de Vitoria banyak menyinggung hal ini dengan konsepsi “Just War” dimana negara barat dapat mengintervensi daerah lain yang dinilai less-civilized ketimbang negara barat, sehingga bentuk kolonialisme menjadi suatu hal yang terlegitimasi.
Konsepsi diatas merupakan alasan yang sama dengan munculnya doktrin Bush pada era pasca serangan 11 September. Aksi AS, berdasarkan pernyataan Bush, menegaskan bahwa bentuk koalisi AS dan sekutunya memiliki tujuan untuk menciptakan “Self-Government” yang dicapai melalui proses demokratis dan keteraturan. Resolusi 151 dari Dewan Keamanaan PBB merupakan hasil lobi AS untuk meyakinkan dunia internasional bahwa aksi intervensi ke Iraq merupakan hal yang diinginkan oleh masyarakat Iraq itu sendiri dan AS memberikan bantuan untuk mempercepat proses demokrasi tersebut. Alasan pendirian “Self-Government” AS ini memiliki fakta historis yang sama ketika AS mendirikan pemerintahan di Filipina yang hingga sekarang masih kuat berada di bawah pengaruh AS.
Aksi AS dibawah pemerintahan Bush memiliki kesamaan atas alasan yang melegitimasi aksi imperialism negara barat pada era ke-19, dimana hukum internasional masih mencari bentukan yang sesuai dengan kondisi. Setelah munculnya Piagam PBB aksi dan legitimasi tersebut hilang momentumnya, tetapi serangan 11 September memunculkan kembali doktrin yang telah lama hilang tersebut dengan wajah baru yang mengatasnamakan aksi pemberantasan terorisme serta senjata pemusnah massal dan penegakan demokrasi sebagai alasan agresi dengan kekuatan militer. Hal ini merupakan signifikansi penyimpangan pada kaidah hukum internasional. Bahkan bila melihat fakta yang terjadi sebuah negara dapat bertahun-tahun melakukan aksi penjajahan atau intervensi terhadap negara lain tanpa perlu mengakui dan mencari basis legitimasi yang dapat diakui serta didukung masyarakat global. Dilihat dari segi hukum internasional juga kaidah hak asasi manusia, aski AS ini merupakan penyimpangan yang perlu disikapi agar tidak terulang kembali dikemudian hari.
Kritsiotis juga memiliki konklusi yang serupa mengenai aksi Self-Defence dengan aksi retaliatoris yang berlebihan. Berdasarkan studi kasus pada serangan misil AS ke Iraq tahun 1993, administrasi AS dibawah Clinton menggunakan hukum kebiasaan dan treaty law of Self-Defence. Aspek politis sangat mempengaruhi keputusan Self-Defence yang tidak sejalan dengan hukum internasional terutama bila didukung oleh dukungan Internasional terhadap aksi AS tersebut. Aksi Self-Defence AS juga tidak memenuhi tingkat immediacy yang mencukupi, sehingga kecurigaan atas aksi militer banyak tercampur oleh alasan kepentingan unilateral dari AS.
Berbeda dengan perspektif Maogoto, Pham, dan Kritsiotis yang pesimistis akan aksi AS sebagai penyimpangan hukum internasional. Peneliti John W. Lango menelaah lebih jauh mengenai konsep legitimasi preemptive war dari PBB itu sendiri yang secara langsung mempengaruhi keberadaan serangan antisipatoris yang terjadi sebagai justifikasi aksi unilateral AS. Pada awal reportasi dari Sekjen PBB mengenai Prevention of Armed Conflict, Kofi Annan memberikan pernyataan pengubahan orientasi PBB dari kultur reaksi menjadi preventif. Dalam artikel 39 Piagam PBB juga tercantum pada pendelegasian tugas pada Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah untuk menjaga perdamaian, yang menurut Lango, merupakan pemberian hak istimewa bagi Dewan Keamanan untuk mengambil langkah preventif pada “ancaman” perdamaian. Serta pada Artikel 40 melanjutkan bahwa Dewan Keamanan memberikan resolusi bagi suatu negara yang mengancam perdamaian, dan bila negara tersebut tidak memberikan respon yang kooperatif, maka dapat dilanjutkan dengan agresi yang bersifat militer. Lango memberikan contoh pada ancaman adanya dugaan Weapons of Mass Destruction pada Iraq dalam perang teluk tahun 1991.
Bila dikaitkan dengan aksi unilateral AS dalam melakukan invasi sesuai dengan Piagam PBB, Lango menyebutkan justfikasi tersebut dapat ditemukan dalam pasal 51 yang telah dibahas sebelumnya. Justifikasi aksi unilateral tersebut dapat dinterpretasikan sebagai bentuk pendelegasian wewenang terhadap Dewan Keamanan secara tidak langsung, terutama para anggota tetap. Hal ini yang dimanfaatkan oleh AS dalam melakukan aksi militernya terhadap segala ancaman perdamaian, mulai dari era Reagan hingga Bush junior.
Pada tataran ideal, suatu aksi preemptive harus memenuhi asas proporsionalitas dimana keuntungannya melebihi kerugian yang di ambil. Lango secara eksplisit mendukung aksi AS untuk memimpin pemberantasan keamanan seperti ancaman senjata pemusnah massal, hingga senjata kimia dan biologis, dengan alasan AS sebagai salah satu pembentuk PBB di akhir Perang Dunia kedua. Sesuai dengan acuan keamanan nasional dari pemerintahan AS dibawah Bush, bahwa AS akan melakukan aksi antisipatoris dalam menumpas ancaman (terorisme termasuk) dan tidak akan ragu untuk melakukan secara unilateral “if the cause is Just” .
Analisis
Dari summary artikel diatas, penulis dapat melihat dua buah pilar pendapat yang mengikuti justifikasi Amerika Serikat. Pihak penentang menyatakan justifikasi aksi pre-emptive atas dasar self-defence yang dilancarkan Amerika Serikat telah muncul dibawah interpretasi hukum yang salah serta terlalu bergantung pada interpretasi hukum kebiasaan (customary law), seperti konsep Just War. Pasal 51 Piagam PBB secara longgar diinterpretasikan sebagai dasar karena kurangnya penjelasan mengenai bentuk penyerangan yang benar terjadi yang memaksa suatu negara melancarkan aksi self-defence. AS memanfaatkan interpretasi atas dasar moralitas dan kemanusiaan dimana aksi pre-emptive dibutuhkan sebelum bentuk ancaman berubah menjadi sebuah ancaman serius. Secara moralitas praktik tersebut dapat diakui, tetapi kenyataan yang terjadi pada invasi AS terhadap Irak atas tuduhan senjata pemusnah massal tidaklah terbukti sehingga merusak esensi inisiasi serangan preemptive.
Kofi Annan selaku dewan PBB memang mendukung bentukan aksi aktif AS ketika Presiden Bush junior meyakinkan dunia bahwa aksi pembentukan pasukan interasional yang dipimpin AS merupakan hal yang tepat untuk melawan teroris serta ancaman senjata pemusnah massal. Tetapi AS melakukan hal yang diluar ekspektasi ketika aksi preemptive tersebut justru memperburuk situasi Irak, terutama dengan banyaknya korban dari warga sipil, serta aksi yang justru memicu banyak konflik susulan. Kecaman dunia mulai muncul sehingga membentuk opini pesimistik terhadap segala bentuk preemptive AS yang digunakan sebagai jargon self-defence. Masyarakat internasional kian sadar akan legitimasi untuk ambisi AS semata. Bahkan lebih jauh seperti apa yang Pham utarakan bahwa bentuk penjajahan dan intervensi di Abad 21 dapat tidak diakui oleh sebuah negara, sehingga AS dapat terlindung dari kenyataan bahwa aksi invasi tersebut memiliki kesamaan dengan justifikasi kolonialisme di abad 19 untuk melancarkan aksi militer terhadap less-civilized society.
Selain itu Lango memberikan pendekatan berbeda bahwa aksi AS secara jelas terlegitimasi mengingat posisinya sebagai DK PBB yang mengharuskan dilakukannya pengambilan usaha pemeliharaan keamanan sesuai dengan artikel 39 Piagam PBB. Karakter AS ini menunjukan hegemoni AS sebagai polisi dunia yang telah terbentuk semenjak pemerintahan Reagan hingga Bush Junior. Walau konsensus di DK PBB tidak dicapai, AS menilai bila ancaman telah dinilai cukup membahayakan, AS dapat melakukan intervensi secara langsung.
Penulis berkesimpulan bahwa kasus preemptive ini merupakan titik kelemahan hukum internasional dalam bentukan penjaga keamanan internasional. Kekuatan politik serta pengaruh yang kuat dapat melunakkan interpretasi hukum itu sendiri sehingga aksi yang tidak diinginkan dapat dilancarkan oleh negara yang memiliki pengaruh serta kekuatan militer terkuat. Kemunculan doktrin-doktrin justifikasi menjadi acuan dan diakui dunia internasional karena kekuatan lobbying power yang dimiliki AS sehingga banyak merangkul negara lain untuk menyetejui aksi AS, meskipun tidak ada konsensu bulat di Majelis Umum PBB serta DK PBB. Kasus invasi Ira oleh pemerintahan Bush merangkul lebih dari 20 negara untuk memberikan pasukan “perdamaian” untuk operasi “Iraqi Freedom”, terutama Inggris yang pro AS.
Jadi hukum yang tertera di Piagam PBB bersifat universal dan interpretasi yang dilakukan terhadap hukum tersebut dapat bermacam-macam. Kekuatan politik sangat berpengaruh untuk pembentukan interpretasi dan opini publik Internasional. Ditengah urgensi ketakutan terhadap terorisme, AS dapat menggiring publik dunia serta meyakinkan dunia internasional bahwa aksi preemptive yang dilakukan adalah untuk tujuan self-defence, tidak hanya untuk AS, tapi untuk seluruh masyarakat dunia. Lalu ketika hasilnya diluar ekspektasi, kekecewaan bermunculan, pemerintah AS sendiri yang harus menanggung merosotnya pamor pemerintahannya. Krisis financial AS penulis berpendapat kurang klebih dipengaruhi oleh pengeluaran biaya militer yang berlebihan.
Jadi pengawasan terhadap interpretasi yang bersifat politis terhadap hukum internasional harus dikritisi dan diawasi lebih seksama demi tujuan membentuk masyarakat internasional yang damai dan taat kaidah hukum.
No comments:
Post a Comment